Tulisan ini saya buat tepat satu hari sebelum Ujian Tengah Semester saya mengenai Analisis Dampak Lingkungan. Secara kebetulan juga, ini merupakan bahan UTS saya yaitu terkait dengan AMDAL Pasar Terong di Kota Makassar.
Pada awalnya saya sama sekali tidak terkesan dengan laporan yang diteliti oleh teman angkatan saya ini, mengingat permasalahan yang terjadi pada Pasar Terong adalah sesuatu yang lumrah pada seluruh pasar yang ada di kota ini. Tapi akhirnya dengan terpaksa saya harus mempelajari semua materi penelitian ini karena biar bagaimanapun ini adalah bahan UTS saya besok. Lalu saya mengambil inisiatif untuk mempermudah cara saya mempelajari hasil penelitian teman saya ini, kenapa tidak saya rangkum saja ulang point-point penting yang nantinya saya postingan di Blog (tentunya setelah minta izin dari yang punya ^_^ he….he… )
Ok, untuk mempersingkat tulisan ini langsung saja ya…
1. Gambaran Umum Pasar Terong
Pasar Terong berada di wilayah Kecamatan Bontoala yang dimana merupakan kecamatan bagian dari BWK B Kota Makassar, dimana fungsi utama dari BWK B Kota Makassar menurut Dinas Tata ruang Kota Makassar adalah sebagai fungsi perdagangan dan pelayanan jasa social atau saat ini di sebut dengan fungsi Kawasan Perdaganagn Terpadu.
Pasar terong merupakan salah satu pasar traditional di kota Makassar khususnya berada pada Kec. Bontoala. Pasar Terong ini merupakan pasar yang cukup besar dengan skala pelayanan tingkat kota.
|
Peta Google Earth Pasar Terong, Makassar |
2. Pasar Terong dari Masa ke Masa
Lahirnya pasar Terong berawal di awal tahun 1960 dimana masyarakat di sekitar Maccini dan Baraya yang menjadi area migrasi semakin padat, dan pasar kalimbu yang berdiri lebih dulu tidak mampu lagi mengakomodir pembeli yang semakin padat. Namun seiring berjalannya waktu, pasar terong menyisakan persoalan kesemrawutan.
Kurang lebih 7 tahun sejak munculnya pertama kali, bangunan pasar mulai terlihat di tahun 1967 hingga 1968. Menurut beberapa pedagang yang hidup saat itu, wujud pasar hanyalah bertiangkan bambu dan beratapkan nipa. Saat itu, kanal Panampu belum selebar dan sekotor sekarang ini. Kanal itu dulunya hanya sebuah got besar yang oleh penduduk setempat disebut ‘solongang lompoa’ yang dipenuhi kangkung dan rumput liar di kedua sisinya.
Pasar terong ini sebelum mengalami revitalisasi tahap satu di Era Pemerintahan Daeng Patompo pada tahun 1972 menyusul tahap kedua di masa Malik B. Masri tahun 1994 adalah pasar rakyat. Menjelang tahun 1994, ide untuk melakukan revitalisasi pasar tahap kedua bergulir. Berawal dari sebuah studi banding yang dilaksanakan oleh walikota Makassar saat itu, Malik B. Masri di Hawaai, USA, terbersitlah keinginan merombak pasar Terong menjadi sebuah pasar modern. Saat itu, terpilihlah PT. Prabu Makassar Sejati sebagai developer dimana Ferry Soelisthio sebagai komisaris yang memenangkan tender untuk revitalisasi pasar “tradisional”. Mulailah persoalan baru muncul menghampiri pedagang pasar Terong.
Sayangnya sang walikota memasang target dan studi banding yang terlalu tinggi dengan keadaan social masyarakat Makassar yang ada, bagaimana bisa Pasar tradisional di Hawai di jadikan kiblat dalam perencanaan pasar tradisional di Kota Makassar?! Perbedaan kultur saja sudah dengan sangat jelas menegaskan antara perbedaan behavior masyarakat Kota Daeng dengan negeri barat. Begitulah tahap kedua revitalisasi yang terjadi, jika dilihat sangat tidak akuntable dengan keadaan real lapangan tapi tetap di paksakan yang justru menimbulkan warisan permasalahan yang tak kunjung ada penyelesaian.
Adapun beberapa masalah yang timbl pada revitalisasi tahap kedua ini yaitu tidak lain dan tidak bukan persoalan klasik juga mencuat, harga kios dan lods terlampau mahal bagi pedagang kecil yang mendominasi berdagang di Pasar Terong. Banyak yang dengan terpaksa membeli kios yang berharga 40 – 80 juta rupiah atau lods bagi pedagang kecil karena tiada pilihan lain, walau banyak pula yang memilih mengisi badan jalan di luar bangunan yang kini berdiri.
Masalah lain timbul seiring kepindahan pedagang ke dalam gedung baru. Tidak sampai 6 bulan, para pedagang ‘basah’ kecewa dengan sulitnya proses angkut barang naik turun setiap harinya. Belum lagi pembeli yang tidak ingin naik hingga ke lantai 2 apalagi 3. Pembeli berkurang berarti pemasukan minim. Pemasukan minim berimplikasi pada cicilan tempat terhambat sementara biaya untuk mencukupi anggota keluarga di rumah juga dituntut setiap harinya. Akhirnya banyak pedagang memilih keluar dan meninggalkan tempat mereka yang sudah dibeli dan sedang berjalan cicilannya. Ramailah kembali badan-badan jalan, lorong, trotoar, dan berbagai sudut pasar yang memungkinkan untuk ditempati. Sementara di lain pihak, Developer melalui perjanjian yang dibuat dengan pedagang pembeli kios/lods menikmati keuntungan akibat macetnya cicilan yang membuat uang muka (DP) dan diskon 12 persen menjadi milik developer tanpa harus kehilangan kios dan lods yang sudah dibeli pedagang. Hingga kini, masalah ini masih menyisakan banyak kekecewaan di hati pedagang yang terlanjur membayar mahal namun kehilangan daya melanjutkan cicilan. Tidak membayar selama 3 bulan berturut-turut berarti kehilangan uang DP dan diskon 12 persen.
Memasuki awal tahun 2000-an keadaan pasar semakin semrawut. Pengusaha atau developer dan pedagang berada dalam kerugian akibat model bangunan yang dipaksakan dalam kondisi yang berbeda kultur. Pedagang pasar Terong tumbuh dalam budaya hamparan yang melebar horisontal dan kini dihadapkan pada area dengan bangunan vertikal meninggi ke atas. Mereka lalu memilih kembali melebar. Karena maraknya pedagang di luar gedung ketimbang di dalam gedung maka secara naluria dan berdasarkan kebiasaan pemerintah masa itu persoalan ini akan diselesaikan melalui pembersihan pedagang di luar gedung yang kemudian dicap “liar”. Maka ditempuhlah beragam cara baik legal maupun di luar kerangka regulasi. Cara legal tentulah melalui jalur resmi pemerintah seperti pengerahan satuan polisi pamong praja atau satpol PP. Lalu cara sebaliknya adalah melalui mobilisasi “preman” untuk melakukan aksi teror dan penyebaran ketakutan atas pedagang di pasar. Bahkan, kedua model ini dapat bekerja secara bersamaan sebagaimana terjadi di tahun 2003, 2005, dan 2007. Dimana preman dan satpol PP turut andil dalam serangkaian pembongkaran dan penggusuran kepada pedagang.
|
Permasalahan Utama Pasar Terong |
3. Dampak Positif & Negatif Keberadaan Pasar Terong
a. Dampak Sosial
Dampak aspek sosial adalah perubahan yang terjadi pada manusia dan masyarakat yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan. (PP 51/1993 sebagai Rencana Tata Usaha atau Kegiatan). Adapun sampak social yang timbul disebabkan oleh keberadaan Pasar Terong sebagai berikut:
o Bau di sekitar lokasi pasar terong yang menjadi tercemar oleh bau sampah yang menumpuk
o kemacetan lalu lintas yang terjadi di depan pasar terong tepatnya di jalan Gunung Bawakaraeng.
o Behaviour Masyarakat, yang lebih menyukai untuk berjualan di pinggir kanal yang semestinya di jadikan jalan alternatif dari bagian luar pasar terong dibandingkan menempati stand atau toko yang sudah disediakan di dalam bangunan pasar terong.
o Atitude Masyarakat, yang suka membuang sampah sembarangan atau langsung ke bagian permukaan saluran kanal maupun drainase.
o Terpengaruhinya pola hidup masyarakat sekitar dengan kebiasaan buruk seperti membuang dan menumpuk sampah sembarang tempat sehingga dapat menjadi produsen bau yang tidak sedap serta tidak bagus untuk kesehatan.
o Kondisi di sepanjang pinggiran kanal yang menimbulkan kesan kumuh, dan tidak rapi di dalam area pasar tradisional tersebut.
|
Gambar Kanal Di Pasar Terong, Makassar |
b. Dampak Ekonomi
o Kesempatan berjualan masyarakat lebih besar apabila berjualan di pinggir kanal dibanding dalam bangunan.
i. Hal ini lebih dikarenakan oleh faktor daya tarik atau minat penduduk selaku pembeli yang kebanyakan enggan memilih untuk masuk berbelanja ke dalam bangunan.
ii. Selain itu, hal ini juga lebih dikarenakan oleh kemudahan pembeli menjangkau produsen/penjual apabila berjualan di pinggiran kanal dibanding jika berada dalam bangunan terlebih lagi jika berada di atas lantai 3 atau 4 bangunan.
o Perdagangan berupa pelayanan enceran dan grosiran.
o Penanam Modal dilakukan perseorangan dengan kata lain tidak memiliki investor dalam perkembangan perdagangan yang ditawarkan.
c. Dampak Fisik
o Perumahan. Banyak pedagang yang menjadikan stand tempat mereka berjualan sebagai tempat tinggal mereka. Hal ini dapat dilihat di sepanjang stand pasar yang berada di luar gedung pasar.
o Fasilitas komersil. Tidak memadai karena tidak adanya investor dari Pasar Terong ini yang mewadahi proses perdagangan di Pasar Terong ini.
o Jalan. Lebar jalan masuk Pasar Terong ± 2,5 m. kondisi jalan tidak baik karena banyak ditemukan lubang dan sudah mengalami kerusakan sehingga pada musim hujan sering tergenang air
o Fasilitas masyarakat. Yang ditemukan di lapangan yaitu berupa prasarana jaringan air bersih, jaringan drainase yang kondisinya tidak baik/rusak sehingga air limbah dari tiap-tiap kios terbuang ke jalan masuk, terdapat jaringan listrik dan telekomunikasi, tidak/jarang ditemukannya fasilitas persampahan berupa tempat sampah.
o Ruang terbuka. Ruang terbuka di sepanjang kios di luar gedung hanya berupa jalan. Ruang terbukadi dalam gedung berupa koridor, jalan, dan lain-lain.
o Udara. Oleh karena padatnya Pasar Terong, membuat udara disekitarnya terasa panas dan bau yang tidak sedap dapat dirasakan oleh karena bau sampahyang dihasilkan dari kanal.
|
Gambar Eksisting Kanal di Pasar Terong, Makassar |
4. Kesimpulan & Rekomendasi
Dari uraian yang terlampir diatas ada beberapa hal yang bisa disimpulkan terkait keberadaan Pasar Terong, yaitu:
a. Keberadaan Pasar Terong sebagai pasar tradisional membutuhkan pengembangan yang sesuai dengan kultur setiap stake holder yang nanti akan menggunakan pasar ini. Sehingga dalam pengembangannya oleh para developer maupun Pemda Makassar haruslah memperhatikan setiap komponen dalam perencanaan dan pengembangannnya.
b. Lokasi Pasar Terong yang berdekatan dengan Pusat Kota Makassar akan memberikan pencitraan tersendiri bagi Kota Makassar terutama mengenai dampak berbagai aspek yang ditimbulkan sehingga di perlukan manajemen kawasan perdagangan yang kondusif, stabil dan tidak memihak personal maupun kelompok guna menertibkan area lokasi pasar yang dianggap tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
c. Permasalahan yang timbul di Pasar Terong sebagian besar terjadi disebabkan oleh kurangnya komunikasi yang baik antara pedagang, dengan Pemerintah Daerah maupun pihak Developer. Sehingga alangkah baiknya jika dalam perencanaannya dimasa yang akan datang terutama jika akan dilakukan revitalisasi kembali, Pemda haruslah bersifat transparan terhadap para pedagang dan menjelaskan semua program dan tujuan revitalisasi agar tidak terjadi kerugian pada salah satu pihak (terutama pada pihak pedagang seperti kejadian sebelumnya).
d. Terkait behavior warga disekitar Pasar Terong yang kerap berperilaku tidak peduli dengan lingkungan sekitar haruslah diberikan penyuluhan-penyuluhan akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Sumber: Rangkuman Makalah "DAMPAK PASAR TERONG TERHADAP LINGKUNGAN SEKITAR KANAL/DRAINASE" oleh Agnes Melinda, dkk (Mahasiswa Teknik Pengembangan Wilayah & Kota-Unhas. Angkatan 2009)