Mengetahui
bahwa kemenakannya dianiaya, Singa Gurun itu marah. Seandainya Muhammad itu
orang lain, atau unta yang tersesat dari pegunungan terpencil, ia pun pasti
akan murka mendengar perbuatan Abu-Jahal yang sewenang-wenang itu.
Walaupun,
menurut silsilah Hamzah adalah seorang paman, usia-nya tidak jauh berbeda
dengan Muhammad SAW. Ia paman paling muda. Di kalangan para jawara Quraisy, ia
termasuk seorang jagoan yang paling ditakuti, selain Umar bin Khaththab. Ia
bahkan diunggulkan untuk mengimbangi sejumlah pemuda Quraisy yang telah menjadi
pemeluk agama Islam. Dengan Hamzah masih berada di kubu kaum musyrikin, Abu
Jahal merasa kuat dan berani malang-melintang, mengejek, dan menyiksa bekas
anak buahnya yang telah menyeberang sebagai pengikut Muhammad.
Namun,
Hamzah adalah Hamzah, putra Abdul Muthalib. Meskipun dengan ayah Muhammad ia
tidak seibu, karena dilahirkan dari istri Abdul Muthalib yang bernama Halah,
sedangkan Abdullah dari istri tua yang bernama Fatimah, rasa kekeluargaannya
dengan Muhammad sangat melekat. Apalagi ia bukan saja seorang paman, melainkan
juga saudara sepersusuan, sebab waktu kecilnya pernah menjadi anak asuh
Tsuwaibah dn Halimatus Sa’diyah, yang juga menyusui Muhammad semasa bayinya.
Dari
itu, bisa dibayangkan, alangkah berangnya Hamzah ketika Salma, sahaya Shafiyah
binti Abdul Muthalib, datang kepadanya seraya berkata terpatah-patah, “Wahai
Hamzah, Abu Amarah. Gelarmu adalah Biang Kemarahan. Maka engkau pasti amat
murka bila menyaksikan bagaimana si terkutuk Abu Jahal, Biang Kebodohan itu, menyiksa
kemenakanmu dengan semena-mena.”
Muka
Hamzah memerah. Sebab sudah sering didengarnya keganasan Abu Jahal terhadap
kemenakannya itu. “Apakah kamu menyaksikan sendiri Abu Jahal menganiaya
Muhammad?”
Budak
perempuan itu mengangguk. “Demi Allah, tidak ada perbuatan lebih buruk daripada
tindakan Abu Jahal kepada Muhammad pagi tadi.”
“Kurang
ajar!” teriak Hamzah, tanpa berpikir bahwa ia dan Abu Jahal sebetulnya berada
dalam satu kubu, sedangkan Muhammad berdiri di kubu yang lain.
“Ceritakan, apa yang telah dilakukan Abu Jahal kepada Muhammad.”
Salma
lantas menuturkan, “Saat itu Muhammad sedang duduk sendirian di kaki Bukit
Shafa. Tiba-tiba Abul Hakam, si Abu Jahal itu, mendatanginya dan memaki-maki
dengan cacian yang kotor. Muhammad cuma diam, tidak membalas sepatah pun. Abu
Jahal tambah naik pitam. Ia meraup pasir dan menaburkannya ke wajah Muhammad.
Kemenakan engkau itu masih bergeming. Abu Jahal kian menjadi-jadi. Ia mengambil
tahi binatang dan melemparkannya kepada Muhammad.
Karena
yang dirudha-paksa, dianiaya, itu belum juga menimpalinya dengan suatu
tindakan, Abu Jahal mengangkat dan membanting Muhammad, lalu menginjak-injak
kepalanya. Sungguh, saya tidak sampai hati melihatnya lebih lama. Andai kata
saya seorang lelaki, walaupun umpamanya saya bukan pengikut Muhammad, pasti Abu
Jahal sudah saya seret dan saya lakukan kepadanya seperti yang telah
dilakukannya atas diri Muhammad. Oh, laknat Allah kepada Abu Jahal.”
Salma
kemudian menangis tersedu-sedu, membuat napas Hamzah berdengus-dengus. Ia tidak
peduli lagi siapa Abul Hakam dan siapa Muhammad. Kalau begini, tidak ada
golonganku dan golonganmu, partaiku dan partaimu. Sebab yang mencuat adalah
hati nurani dan rasa kemanusiaan yang disakiti. Jangankan Muhammad, keluarganya
sendiri. Seandainya Muhammad itu orang lain, atau unta yang tersesat dari
pegunungan terpencil, siapa pun pasti akan murka mendengar perbuatan Abul Hakam
yang sewenang-wenang itu.
Maka
Hamzah segera berdiri, sambil mengenggam pangkal pedangnya, dan menyelempangkan
anak panah serta busurnya. Dengan langkah panjang-panjang ia bergegas menuju
Ka’bah. Ia menduga, Abu Jahal pasti sedang membual di sana. Si Biang Kebodohan
itu tengah dikerumuni sejumlah konconya. Mereka adalah begundal-begundal yang
selalu mengiyakan hampir semua ucapan Abu Jahal.
Tanpa
menyampaikan salam seperti galib-Nya, Hamzah langsung menghardik Abu Jahal,
“Hai, Cecurut! Betulkah kamu baru saja mencerca Muhammad dan menyiksanya?”
Abu Jahal menggigil mencium kemarahan Hamzah yang meluap. Seluruh anak buahnya
juga tidak berani berkutik. Mereka sadar, yang dapat meladeni keandalan Hamzah
dalam mengumbar kemarahan hanya Umar bin Khaththab. Yang lain-lainnya cuma
semacam tikus berhadapan dengan serigala.
“Katakan
sejujurnya. Sebab, kalau kau berani berbuat begitu kepada Muhammad, berarti
berani pula menantang Hamzah. Ayo, katakan!” teriak Hamzah sambil menusukkan
ujung anak panahnya ke leher Abu Jahal. Pemimpin kaum musyrikin itu tambah
kecut.
Dengan sisa-sisa keberaniannya, akhirnya Abu Jahal menjawab
lirih. “Sabar sebentar, wahai Biang Kemarahan. Kemenakan engkau itu sudah
keterlaluan. Ia membodoh-bodohkan para pinisepuh kita. Ia menyatakan bahwa para
leluhur kita telah tersesat, menyembah berhala-berhala. Ia telah menyebarkan
agama baru yang menyebabkan masyarakat Quraisy terpecah-belah. Bukankah
seharusnya engkau pun berbuat yang sama kepada Muhammad?”
Hamzah
mendengus, “Hemm, aku sendiri bahkan mempunyai pikiran yang sejalan dengan
Muhammad. Kalian sangat bodoh, menyembah-nyembah patung yang tidak punya daya
apa-apa. Saksikanlah, sejak sekarang aku berikrar, tidak ada Tuhan kecuali
Allah, dan Muhammad itu memang benar utusan Allah.”
Semua
yang mendengar pernyataan itu mendadak terbelalak. Mereka tidak menyangka
Hamzah akan bersikap sejauh itu. Mereka hendak mencabut pedang dan mengeroyok
Hamzah, tetapi Singa Gurun itu menusukkan mata anak panahnya ke leher Abu Jahal
sampai darahnya mengucur deras.
Salah
seorang kamerad Abu Jahal masih ada yang berani bersuara, “Hamzah, engkau telah
tersihir oleh kemenakan engkau. Sungguh lancang. Engkau berani meninggalkan
agama nenek moyang engkau. Bakal terkutuk engkau!”
“Kutuklah
aku sesukamu. Aku tidak takut. Yang ku-takuti sekarang adalah laknat Allah,”
jawab Hamzah, dengan suara lebih lantang dan sikap makin garang. “Hayo, siapa
berani melarang aku mengikuti agama Muhammad, siapkan kepandaian dan senjatamu
sebelum kubantai menjadi berkeping-keping.”
Tidak
ada yang berani bercuit lagi. Abu Jahal menyuruh mereka diam. Lalu, tanpa
menoleh, mereka meninggalkan Ka’bah setelah Hamzah melepas anak panahnya dari
leher Abu Jahal. Darah masih menetes dari luka-luka di leher Abu Jahal. Darah
itu adalah darah aniayanya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang menggungah
hati nurai Hamzah sehingga, hikmahnya, ia justru menginsyafi kedunguannya
selama ini, telah menaati agama yang keliru dan sesat.