Desember 20, 2012

MENGENAL SAMPAH LEBIH DEKAT



Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Sejalan dengan peningkatan penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (Bapedalda, 2000). Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung.
            Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia (di TPA) merupakan sampah organik sebesar 60-70% yang mudah terurai. Sampah organik akan terdekomposisi dan dengan adanya limpasan air hujan terbentuk lindi (air sampah) yang akan mencemari sumber daya air baik air tanah maupun permukaan sehingga mungkin saja sumur-sumur penduduk di sekitarnya ikut tercemar.  Lindi yang terbentuk dapat mengandung bibit penyakit pathogen seperti tipus, hepatitis dan lain-lain. Selain itu ada kemungkinan lindi  mengandung logam berat, suatu  salah satu bahan beracun. Jika sampah-sampah tersebut tidak diolah, maka selain menghasilkan tingkat pencemaran yang tinggi juga memerlukan areal TPA yang luas.
Untuk mengatasi  permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah mengubah pola pikir yang lebih bernuansa lingkungan. Konsep pengelolaan sampah yang terpadu sudah saatnya diterapkan, yaitu dengan meminimalisasi sampah serta maksimasi daur ulang dan pengomposan disertai TPA yang ramah lingkungan. Paradigma baru penanganan sampah lebih merupakan satu siklus yang sejalan dengan konsep ekologi. Energi baru yang dihasilkan dari hasil penguraian sampah maupun proses daur ulang dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu tersebut setidaknya mengkombinasikan pendekatan pengurangan sumber sampah, daur ulang & guna ulang, pengkomposan, insinerasi dan pembuangan akhir. pengurangan sumber sampah untuk industri berarti perlunya teknologi proses yang nirlimbah serta packing produk yang ringkas/ minim serta ramah lingkungan. Sedangkan bagi rumah tangga berarti menanamkan kebiasaan untuk tidak boros dalam penggunaan  barang-barang keseharian. Untuk pendekatan daur ulang dan guna ulang diterapkan khususnya pada sampah non organik seperti kertas, plastik, alumunium, gelas, logam dan lain-lain. Sementara untuk sampah organik diolah, salah satunya dengan pengkomposan.

Penanganan Sampah 3-R, 4-R dan 5-R
            Pemikiran konsep zero waste adalah pendekatan serta penerapan sistem dan teknologi pengolahan sampah perkotaan skala kawasan secara terpadu dengan sasaran untuk melakukan penanganan sampah perkotaan skala kawasan sehingga dapat mengurangi volume sampah sesedikit mungkin, serta terciptanya industri kecil daur ulang yang dikelola oleh masyarakat atau pemerintah daerah setempat.
Konsep zero waste yaitu penerapan rinsip 3R (Reduce, Reuse, dan recycle), serta prinsip pengolahan sedekat mungkin dengan sumber sampah dengan maksud untuk mengurangi beban pengangkutan (transport cost). Orientasi penanganan sampah dengan konsep zero waste diantaranya meliputi :
1.      Sistem pengolahan sampah secara terpadu
2.      Teknologi pengomposan
3.      Daur ulang sampah plastik dan kertas
4.      Teknologi pembakaran sampah dan insenator
5.      Teknologi pengolahan sampah organik menjadi pakan ternak
6.      Teknologi pengolahan sampah menjadi listrik menggunakan teknologi GALFAD.
7.      Teknologi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
8.      Peran serta masyarakat dalam penanganan sampah/ Pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
9.      Pengolahan sampah kota metropolitan
10.  Peluang dan tantangan usaha daur ulang.

Pengelolaan sampah dimasa yang akan datang perlu memperhatikan berbagai hal seperti:
1.      Penyusunan Peraturan daerah (Perda)  tentang  pemilahan sampah
2.      Sosialisasi pembentukan kawasan bebas sampah, seperti misalnya  tempat-tempat wisata, pasar, terminal, jalan-jalan protokol, kelurahan, dan lain sebagainya
3.      Penetapan peringkat kebersihan bagi kawasan-kawasan umum
4.      Memberikan tekanan kepada para produsen barang-barang dan konsumen untuk berpola produksi dan konsumsi yang lebih ramah lingkungan
5.      Memberikan tekanan kepada produsen untuk bersedia  menarik (membeli) kembali dari masyarakat atas kemasan produk yang dijualnya, seperti bungkusan plastik, botol, alluminium foil, dan lain lain.
6.      Peningkatan peran masyarakat melalui pengelolaan sampah skala kecil, bisa dimulai dari tingkat desa/kelurahan ataupun kecamatan, termasuk dalam hal penggunaan teknologi daur ulang, komposting, dan penggunaan incenerator.
7.      Peningkatan efektivitas fungsi dari TPA
8.      Mendorong transformasi (pergeseran) pola konsumsi masyarakat untuk lebih menyukai produk-produk yang berasal dari daur ulang.
9.      Pengelolaan sampah dan limbah secara terpadu
10.  Melakukan koordinasi dengan instansi terkait baik di pusat maupun daerah, LSM, Perguruan Tinggi untuk peningkatan kapasitas pengelolan limbah perkotaan
11.  Melakukan evaluasi dan monitoring permasalahan persampahan dan pengelolaannya, kondisi TPA dari aspek lingkungan, pengembangan penerapan teknologi yang ramah lingkungan
12.  Optimalisasi pendanaan dalam pengelolaan sampah perkotaan, pengembangan sistem pendanaan pengelolaan sampah
13.  Konsistensi pelaksanaan peraturan perundangan tentang persampahan dan lingkungan hidup.
14.  Meningkatkan usaha swakelola penanganan sampah terutama sampah yang mudah terurai ditingkat desa/kelurahan.
15.  Memberikan fasilitasi, dorongan, pendampingan/advokasi kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan pengelolaan sampah.

Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pada  Pasal 5  UU Pengelolan Lingkungan Hidup No.23 Th.1997, bahwa masyarakat berhak atas  Lingkungan  hidup yang baik dan sehat. Untuk mendapatkan  hak tersebut,  pada Pasal 6 dinyatakan  bahwa masyarakat  dan pengusaha  berkewajiban untuk berpartisipasi dalam memelihara kelestarian fungsi lingkungan, mencegah dan  menaggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.  Terkait dengan ketentuan tersebut, dalam UU NO. 18 Tahun 2008 secara eksplisit juga dinyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban dalam pengelolaan sampah. Dalam hal pengelolaan sampah pasal 12 dinyatakan, setiap orang wajib mengurangi dan menangani sampah  dengan cara berwawasan lingkungan. Masyarakat juga dinyatakan berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaan dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah. 


DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. Sampah sebagai sumber daya.
KLH.  2005. Buku Panduan Mengelola Sampah Rumah Tangga dengan Prinsip 4R
Undang-Undang  No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997
Sumber-sumber lain dari internet.


Desember 16, 2012

KABUPATEN MAROS, SULAWESI SELATAN



Peta Administrasi Kab. Maros

Secara umum luas wilayah Kabupaten Maros kurang lebih 1.619,12  Km2 dan secara administrasi pemerintahan terdiri atas 14 wilayah kecamatan dan 103 desa/kelurahan. Berdasarkan posisi dan letak geografis wilayah, Kabupaten Maros berada pada koordinat 400 45’– 500 07’ Lintang Selatan dan 1090 205’ – 1290 12’ Bujur Timur. Batas administrasi wilayahnya adalah sebagai berikut :
·           Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa
·          Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone
·          Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar
Luas wilayah Kabupaten Maros berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000 edisi I Tahun 1991 yang diterbitkan Bakosurtanal dan Peta Administrasi BPN Maros yaitu kurang lebih 213.188,69 Ha. Sedangkan menurut BPS Kabupaten Maros 2009 luas wilayah Kabupaten Maros tercatat 1.619,12 Km², meliputi 14 kecamatan, dimana Kecamatan Tompobulu dan Kecamatan Mallawa merupakan 2 kecamatan terluas dengan luas masing-masing adalah 287,66 Km² dan 235,92 Km². Sedangkan wilayah kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Moncongloe dan Kecamatan Mandai dengan luas masing-masing adalah 46,87 Km² dan 49,11 Km². Jumlah dan luas masing-masing wilayah di Kabupaten Maros lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel .1.   
Luas Kecamatan, Jumlah Desa dan Kelurahan Kabupaten Maros
No.
Kecamatan
Luas Kecamatan
Juml. Desa
Juml Kel
Luas (km²)
%
1
2
3
4
5
6
1
Mandai
49,11
3,03
6
6
2
Moncongloe
46,87
2,89
6
6
3
Maros Baru
53,76
3,32
7
7
4
Marusu
53,73
3,32
7
7
5
Turikale
29,93
1,85
7
7
6
Lau
73,83
4,56
6
6
7
Bontoa
93,52
5,78
9
9
8
Bantimurung
173,70
10,73
8
8
9
Simbang
105,31
6,50
6
6
10
Tanralili
89,45
5,52
8
8
11
Tompobulu
287,66
17,77
8
8
12
Camba
145,36
8,98
8
8
13
Cenrana
180,97
11,18
7
7
14
Mallawa
235,92
14,57
12
12
Jumlah
1.619,12
100
105
105
       Sumber : BPS,  Maros Dalam Angka 2010

Peta Rencana Struktur Ruang
Kondisi tata guna lahan Kabupaten Maros secara umum terdiri atas; perkampungan, tambak, tegalan, sawah, kebun campuran, semak belukar, hutan lebat, hutan belukar, lahan terbangun dan lain-lain penggunaan lahan yang ada. Pergesaran pemanfaatan lahan kawasan Kabupaten Maros secara umum telah mengalami perubahan yang cukup elativ, akibat terjadinya peningkatan pembangunan aktivitas elati ekonomi.
Kabupaten Maros terbagi dalam 4 (empat) satuan geomorfologi, sebagai berikut :
1)      Satuan Pegunungan Vulkanik : menempati bagian utara, tengah dan timur puncak tertinggi Bulu Lekke (1.361 m dpl) menempati luas 30 % dari luas daerah kabupaten Maros, dinampakkan dengan relief topografi yang tinggi, kemiringan terjal, tekstur topografi yang kasar dan batuan penyusunnya dari batuan gunung api (vulkanik).
2)      Satuan Perbukitan Vulkanik : Intrusi dan Sedimen : menempati daerah perbukitan yang menyebar secara setempat-setempat sekitar 15 % dari luas kabupaten Maros, diperlihatkan dengan kenampakan topografi berbukit dengan batuan penyusun ; batuan vulkanik, batuan intrusi (batuan beku), dan batuan sedimen
3)      Satuan Perbukitan Karst : Satuan perbukitan ini tersebar cukup luas pada bagian tengah, timurlaut daerah Kabupaten Maros yang meliputi kecamatan Bontoa, Bantimurung, Simbang, Tanralili, Mallawa dan Camba, ciri khas pada satuan morfologi ini adalah kenampakan topografi berbukit-bukit karst dengan tekstur sangat kasar dengan batu gamping sebagai batuan penyusunnya.
4)      Satuan Pedataran Alluvium : terletak dibagian barat yang tersebar dengan arah utara-selatan, menempati sekitar 25% dari luas daerah kabupaten Maros. Tercirikan dengan bentuk morfologi topografi datar, relief rendah, tekstur halus dengan batuan dasar endapan alluvium.
Peta Rencana Pola Ruang

Hasil catatan registrasi yang diperoleh, tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Maros berdasarkan klasifikasinya dibedakan atas 3 (tiga) bahagian yaitu; kepadatan tinggi, sedang dan rendah. Kepadatan tertinggi berada di wilayah Kecamatan Turikale dengan kepadatan penduduk sebesar 1.110 jiwa/km2, kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan Tompobulu dengan jumlah sebesar 49 jiwa/km2. Demikian pula halnya dengan pola penyebaran penduduk terjadi secara tidak merata. Data yang diperoleh menunjukkan pola penyebaran penduduk di Kabupaten Maros secara umum terakumulasi di pusat kota dan pusat-pusat pertumbuhan kota. Perkembangan jumlah penduduk, dan kepadatan dirinci menurut kecamatan di Kabupaten Maros pada Tabel berikut :

Kepadatan Penduduk Kabupaten Maros Dirinci Menurut Kecamatan
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Luas Wilayah
(Km2)
Kepadatan Penduduk
(Jiwa/Km2)
1
2
3
4
5
1
Mandai
34.973
49,11
712
2
Moncongloe
16.972
46,87
362
3
Maros Baru
22.836
53,76
425
4
Marusu
23.963
53,73
446
5
Turikale
33.235
29,93
1.110
6
Lau
24.208
73,83
328
7
Bontoa
27.289
93,52
292
8
Bantimurung
27.817
173,70
160
9
Simbang
22.001
105,31
209
10
Tanralili
24.375
89,45
272
11
Tompobulu
14.053
287,66
49
12
Camba
12.523
145,36
86
13
Cenrana
14.504
180,97
80
14
Mallawa
12.028
235,92
51

Jumlah

310.777
1.619,12
192
Sumber : Dinas Kependudukan Kabupaten

Peta Penetapan KSK