1.
Pers di zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin (1956-1966)
Sejak dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan diberlakukan kembali UUD 1945,
tindakan tekanan terhadap pers pun mulai gencar dilakukan oleh pemerintah. Hal
ini ditandai dengan dilakukannya pembredelan terhadap para insan pers
diantaranya adalah kantor berita PIA,
Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po..
Penekanan terhadap
pers tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi, dengan landasan tersebut pada tahun 1960, mulai dilakukan
sanksi-sanksi terhadap perizinan pers, bahkan dengna dalih kepentingan
pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan maka izin terbit Harian Republik pun dicabut. Pada tahun 1964 kondisi pers Indonesia
semakin memburuk karena semua tindak-tanduk pers dikontrol dan disensor secara
ketat sekaligus sepihak oleh pemerintah (Kementrian Penerangan).
Tindakan penekanan
terhadap kebebasan pers mulai berkurang seiring dengan menurunnya ketegangan dalam pemerintahan.
Lebih-lebih setelah percetakan-percetakan diambil alih oleh pemerintah dan para
wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintah. Oleh karena
itu sangat sedikit tindakan penekanan pemerintah terhadap pers.
Jadi dapat
dikatakan upaya pemerintah mengenai kebebasan pers pada masa Orde Lama masih sangat memprihatinkan karena justru tindakan pemerintah
pada saat itu sangat membelenggu dan
seakan-akan ingin membunuh daya kreativitas dan suara-suara kritis para insan
pers hanya demi kepentingan dan kekuasaan politik pemerintah secara sepihak.
2.
Pers di zaman Orde Baru (1966-1998)
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia
dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Bahkan
pemerintah pun menekankan tentang sangat
pentingnya pers, hingga lahirlah istilah Pers Pancasila. Pers Pancasila adalah
pers Indonesia yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dan memiliki hakekat pers yang sehat yakni
yang bebas dan bertanggung jawab dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyebar
informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial
yang konstruktif.
Janji pemerintahan orde baru terhadap
dunia pers dipermanis dengan dikeluarkannya UU Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966, yang
menjamin tidak adanya pembredelan serta penegasan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak
memerlukan SIUPP (Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers).
Akan tetapi semua janji itu hanya
berlaku sementara (± 8 tahun) karena setelah itu terjadi ‘Peristiwa Malari’
dimana kebebasan pers Indonesia mengalami set-back
(kembali pada masa orde lama), dikarenakan setelah saat itu pers cenderung mewakili kepentingan penguasa, pemerintah,
dan negara. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita
miring seputar pemerintah. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk
mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang
sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
Meskipun begitu ada beberapa insan pers
yang tetap dengan berani menyuarakan kebenaran
Jadi pada intinya, pers dalam masa orde
baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas berpendapat
dan menyampaikan informasi. Bahkan Dewan Pers pun hanya dibuat pemerintah untuk
melindungi kepentingan pemerintah saja, bukan melindungi insan pers dan
masyarakat. Dewan Pers bukannya
melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah
Orde Baru. Dewan Pers seakan kehilangan fungsinya dan
hanya formalitas belaka.
Sikap arogansi inilah yang akhirnya
menghantarkan rezim orde baru ke gerbang kehancurannya pada tahun 1998.
Sekaligus pembuktian kebenaran suara-suara kritis yang sebelumnya dianggap
sebagai perbuatan makar.
3.
Pers di zaman Reformasi (1998-sekarang)
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali
menikmati kebebasan pers. Pemerintah pada saat itu sangat mempermudah izin
penerbitan pers. Kalangan pers mulai bernapas lega ketika di Era Reformasi
pemerintah mengeluarkan UU No.39 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.40 Tahun
1999 tentang Pers, karena dengan lahirnya peraturan tersebut maka tercatat beberapa kemajuan penting
dibandingkan dengan sebelumnya yaitu UU No. 21 Tahun 1982 tentang UUPP.
Didalam
Undang-undang Pers yang baru ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers
sebagi hak asasi warga negara (pasal 4 ayat 1), itulah sebabnya tidak
disinggung lagi mengenai perlu tidaknya surat izin terbit.
Disamping
itu pada UU No. 40 Tahun 1999 pasal 4 ayat 2 pun diberikan jaminan tidak
dikenakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran bagi setiap insan pers.
Jadi, jika di Orde Lama dan Orde
Baru pers sepenuhnya bertanggung jawab kepada pemerintah sehingga terpaksa
tunduk pada kemauan pemerintah, maka di Era reformasi ini pers bertanggung
jawab kepada profesi dan hati nurani sebagai insan pers. Selain itu pers pun telah
dapat menunjukkan arti sebenarnya dari pers itu sendiri yang tidak lain adalah
salah satu garda demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar