Februari 15, 2012

MEI KELABU



Meskipun sembilan tahun telah berlalu tapi tetap saja kenangan buruk itu tidak bisa terhapus atau tersamarkan sedikitpun dari memory ku. Masih sangat jelas teringat, ketika beribu-ribu pasukan pencabut nyawa berseragam cokelat dan loreng itu membabi buta mengejarku dan ribuan mahasiswa lainnya, sambil menyemprotkan gas air mata dan melepaskan butiran –butiran timah panas ke udara hingga berakhir di paha kiriku. Ketika aku dan teman-temanku telah mengangkat tangan sebagai tanda menyerah tapi... tetap saja para lelaki berseragam itu menyiksa dan memaki kami semua.
            Tak terasa buliran itu telah menganak sungai dan mengalir kembali di pipiku. Mungkin banyak orang yang membicarakan bahkan mengejek kerapuhanku yang tidak bisa menerima kenyataanku saat ini, setelah kejadian sembilan tahun yang lalu. Memang benar keadaan ku sekarang setelah kejadian itu sangatlah ‘menyedihkan’ tapi bukan hal itu yang membuat aku selalu sedih, yang membuat aku merasa bersalah  karena meskipun begitu aku masih mempunyai seorang istri yang selalu berada disisiku dalam keadaan apapun dan mau menerimaku apa adanya, justru hal yang membuatku sedih adalah karena sampai saat ini aku tak bisa melakukan apapun untuk para sahabatku yang telah mengorbankan segalanya demi bumi pertiwiku ini.
            “Sudahlah, Jo ko tidak perlu ingat-ngat masa lalu itu lagi s’karang ko su disini. Masa lalu itu biar saja jadi kenangan buruk dan pelajaran buat kita semua.” Sebuah suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku
            Memang benar kata Nina semua itu sudah berlalu, aku bukan lagi seorang mahasiswa seperti dulu yang sangat bangga tiap kali menggunakan almamater biru tua, yang sangat gemar berorasi, , yang sangat suka menentang keputusan para pejabat yang sangat bertentangan dengan suara hati rakyat kecil, yang selalu berdiri di barisan paling depan tiap kali diadakan demonstrasi termasuk ketika Mei kelabu itu. Ya... sekarang aku bukan lagi seorang  pemuda yang berani seperti dulu bahkan saat ini pun aku harus bersembunyi di kota kecil ini
            “Ingat, Jo su banyak yang ko korbankan untuk negara ini, dan meninggalnya Elang, Sigit, Teddy ataupun yang lainnya bukan ko yang salah. walaupun waktu itu ko yang tugas untuk pimpin demo tapi mau bilang apa kalo yang tong hadapi itu aparat dari rezimnya soeharto. Toh... juga ko liat sekarang pengorbanan tong semua tidak sia-sia setidaknya negara ini sudah berubah, sudah tidak sekejam dulu. Ya... walaupun sampe sekarang mahkamah agung pun belum bisa tentukan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu” jelas Nina panjang lebar.
 Sejak kejadian itu aku memutuskan untuk keluar dari ibu kota dan menetap di kota kecil ini bersama Nina. Pada awalnya terasa sangat berat harus hidup dengan  menghindari berbagai ancaman yang datang bertubi-tubi ataupun hutang tanggung jawab moral yang masih belum bisa aku lunasi, tapi tak terasa dikota inilah aku menemukan ketenangan walaupun sebagian hatiku masih merasa bersalah. Tahun demi tahun pun terlewati dengan sangat cepat seperti arus air yang sangat deras, aku pun mulai terbiasa dengan kebudayaan terutama bahasa sehari-hari di sini apalagi aku ditemani oleh Nina. Sejak saat itu aku mulai sadar bahwa keputusanku untuk menikahinya adalah keputusan yang sangat tepat, seorang wanita yang sangat tangguh dalam kondisi apapun.
            “ Nin, menurut ko keputusan kita tuk tinggal di papua sampe sekarang salah ka tidak? Jujur... sa rasa sepertinya sa ini kayak pengecut” tanyaku ragu
            Ia hanya melemparkan senyum manisnya lalu berkata “ Jo, tong pindah kesini bukan karena pengecut tapi keadaan yang tidak memungkinkan kita untuk tetap tinggal di ibu kota pada saat itu. Tapi satu yang ko harus ingat kita pasti akan kembali kesana untuk buktikan semuanya, untuk meluruskan semuanya tapi tidak sekarang.” segera berbalik berjalan masuk ke dalam rumah.
*****
            Hujan masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti sejak sore tadi, semilir angin pun masih tetap menyapa dengan lembut bagai lagu pengantar tidur. Tetapi tidak dengan ku justru dengan keadaan seperti inilah yang membuat bayangan masa lalu semakin nyata didepan mata. Elang, Sigit.... andai waktu itu aku langsung membawa kalian ke rumah sakit tidak hanya ke klinik Citraland Mall, andai aku bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawabku dengan baik, andai aku bisa melakukan sesuatu untuk kalian semua, andai....
 Percuma saja sampai kapan pun kata ‘andai’ yang aku lontarkan tidak akan mengembalikan kalian. Tapi kamu harus tahu, Lang perjuangan kita saat itu tidaklah sia-sia kamu harus lihat keadaan negara kita saat ini, rezim soeharto telah tumbang keadaan sudah berganti, asas demokrasi telah terpampang dengan sangat kokoh.
“hpfuh.....”Sayang Lang sampai meskipun begitu sampai saat ini, lembaga negara pun masih belum bisa menentukan siapa yang bertanggung jawab atas tragedi ‘Mei Kelabu’ itu. Ingin rasanya aku segera kembali pada tempatku dulu dan mengatakan semuanya tapi tidak sekarang Lang, tidak sekarang. Aku tidak bisa egois akan pada keluargaku karena walaupun telah sembilan tahun tapi tetap saja sampai saat ini Komnas HAM pun tak dapat menjamin keselamatan ku. Tapi aku janji, Lang aku akan secepatnya kembali, aku akan beritahu kepada semuanya, aku akan menegakkan keadilan demi kamu dan teman-teman yang lainnya, aku akan mengungkapkan kejadian ‘Mei Kelabu’ yang sebenarnya kepada dunia.

(Karya: N-M,  Mei 2007)  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar