April 07, 2013

PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRASI


1.     Pers di zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin (1956-1966)
    Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan diberlakukan kembali UUD 1945, tindakan tekanan terhadap pers pun mulai gencar dilakukan oleh pemerintah. Hal ini ditandai dengan dilakukannya pembredelan terhadap para insan pers diantaranya adalah kantor berita PIA, Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po..
    Penekanan terhadap pers tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi, dengan landasan tersebut pada tahun 1960, mulai dilakukan sanksi-sanksi terhadap perizinan pers, bahkan dengna dalih kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan maka izin terbit Harian Republik pun dicabut. Pada tahun 1964 kondisi pers Indonesia semakin memburuk karena semua tindak-tanduk pers dikontrol dan disensor secara ketat sekaligus sepihak oleh pemerintah (Kementrian Penerangan).
    Tindakan penekanan terhadap kebebasan pers mulai berkurang seiring dengan  menurunnya ketegangan dalam pemerintahan. Lebih-lebih setelah percetakan-percetakan diambil alih oleh pemerintah dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintah. Oleh karena itu sangat sedikit tindakan penekanan pemerintah terhadap pers.
    Jadi dapat dikatakan upaya pemerintah mengenai kebebasan pers pada masa Orde Lama masih sangat memprihatinkan karena justru tindakan pemerintah pada  saat itu sangat membelenggu dan seakan-akan ingin membunuh daya kreativitas dan suara-suara kritis para insan pers hanya demi kepentingan dan kekuasaan politik pemerintah secara sepihak.

2.     Pers di zaman Orde Baru (1966-1998)
   Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Bahkan pemerintah pun  menekankan tentang sangat pentingnya pers, hingga lahirlah istilah Pers Pancasila. Pers Pancasila adalah pers Indonesia yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dan memiliki hakekat pers yang sehat yakni yang bebas dan bertanggung jawab dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.
Janji pemerintahan orde baru terhadap dunia pers dipermanis dengan dikeluarkannya UU Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966, yang menjamin tidak adanya pembredelan serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak memerlukan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Akan tetapi semua janji itu hanya berlaku sementara (± 8 tahun) karena setelah itu terjadi ‘Peristiwa Malari’ dimana kebebasan pers Indonesia mengalami set-back (kembali pada masa orde lama), dikarenakan setelah saat itu pers cenderung mewakili kepentingan penguasa, pemerintah, dan negara. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
Meskipun begitu ada beberapa insan pers yang tetap dengan berani menyuarakan kebenaran
Jadi pada intinya, pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Bahkan Dewan Pers pun hanya dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan pemerintah saja, bukan melindungi insan pers dan masyarakat. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru.  Dewan Pers seakan kehilangan fungsinya dan hanya formalitas belaka.
Sikap arogansi inilah yang akhirnya menghantarkan rezim orde baru ke gerbang kehancurannya pada tahun 1998. Sekaligus pembuktian kebenaran suara-suara kritis yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan makar.
  
3.     Pers di zaman Reformasi (1998-sekarang)
       Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Pemerintah pada saat itu sangat mempermudah izin penerbitan pers. Kalangan pers mulai bernapas lega ketika di Era Reformasi pemerintah mengeluarkan UU No.39 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, karena dengan lahirnya peraturan tersebut  maka tercatat beberapa kemajuan penting dibandingkan dengan sebelumnya yaitu UU No. 21 Tahun 1982 tentang UUPP.
         Didalam Undang-undang Pers yang baru ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagi hak asasi warga negara (pasal 4 ayat 1), itulah sebabnya tidak disinggung lagi mengenai perlu tidaknya surat izin terbit.
         Disamping itu pada UU No. 40 Tahun 1999 pasal 4 ayat 2 pun diberikan jaminan tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran bagi  setiap insan pers.
      Jadi, jika di Orde Lama dan Orde Baru pers sepenuhnya bertanggung jawab kepada pemerintah sehingga terpaksa tunduk pada kemauan pemerintah, maka di Era reformasi ini pers bertanggung jawab kepada profesi dan hati nurani sebagai insan pers. Selain itu pers pun telah dapat menunjukkan arti sebenarnya dari pers itu sendiri yang tidak lain adalah salah satu garda demokrasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar